Farmakovigilans
adalah aktivitas memahami, mendeteksi,
menilai dan mencegah efek samping obat dan masalah lain terkait obat (BPOM,
2011). Farmakovigilans didefinisikan
sebagai ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan pendeteksian, penilaian,
pemahaman, serta efek samping obat dan
masalah terkait obat yang mungkin ada. (WHO 2015). Di Indonesia peraturan terkait
farmakovigilans secara jelas mensyaratkan untuk industri farmasi melalui
Indonesia Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 tentang
Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Iarmasi dan Peraturan Kemenkes No 1799
tentang industri farmasi yang juga mencantumkan tentang farmakovigilans. Pada
Fasilitas layanan kesehatan belum dicantumkan secara langsung terkait
farmakovigilans namun sudah ada pada peraturan untuk menerapkannya dalam
masing-masing standar pelayanan kefarmasian seperti Peraturan menteri Kesehatan
No 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Peraturan
Menteri Kesehatan No 30 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas ,dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 58
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit . Ketiga peraturan
tersebut mencantumkan bahwa Tenaga Kesehatan harus memantau efek samping dan
melaporkannya (Kemenkes 2014). Selain itu BPOM uga telah membuat Pedoman
Pemantauan Efek Samping Obat bagi tenaga Kesehatan (BPOM 2015).
Industri Farmasi wajib menerapkan
farmakovigilans sebagai syarat untuk beroprasinya industri tersebut. Adapun
penerapan farmakovigilans yang dilakukan oleh industri farmasi terkait aspek
keamanan obat untuk mendeteksi, memahami, dan menilai serta mencegah efek
samping dan masalah lain pada penggunaan obat, perubahaan karakteristik
resiko-manfaat suatu obat dan Kualitas atau mutu terhadap keamanan penggunaan
obat (BPOM 2011). Sedangkan tenaga kesehatan menerapkan Farmakovigilans dengan
memantau dan melaporkan keadian yang dicurigai sebagai efek samping baik yang
sudah diketahui maupun efek samping yang belum diketahui. (BPOM 2012).
Pelaporan Farmakovigilans yang dilakukan oleh Industri farmasi seperti
pelaporan spontan (spontaneous reporting),
pelaporan berkala pasca pemasaran (periodic
safety update report), pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, pelaporan
publikasi/literatur ilmiah, pelaporan
tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain, , pelaporan tindak lanjut
pemegang izin edar di negara lain, dan
pelaporan dari perencanaan manajemen risiko.
Tata
cara pelaporan Farmakovigilans yang ada di Indonesia telah diatur oleh BPOM.
Untuk Industri Farmasi harus menyampaikan laporan yang sesuai dengan ketetapan
dan pedoman teknis dikirim ke Pusat Farmakovigilans lebih spesifik lagi pada
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia Melalui beberapa cara seperti dikirim via POS
dan E-mail (BPOM 2011). Tenaga Kesehatan wajib untuk memantau efek samping obat
Bagi tenaga kesehatan di fasilitas layanan kesehatan harus bekerja sama dengan
tenaga kesehatan lain dan mengisi form Pemantauan Efek Samping dan informasi lain dari rekam medik pasien
(BPOM 2012) . Laporan tersebut dikirmkan
ke Pusat MESO/Farmakovigilans Nasional
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI melalui
Pos dan E-mail. Di Indonesia sendiri pelaporan terkait efek samping obat
dilakukan oleh tenaga kesehatan.. Di Indonesia sendiri belum ada badan khusus
yang menangani Farmakovigilans . Hal-hal terkait farmakovigilans masih dalam
naungan BPOM. Di Uganda dibawah National
Drug Policy and Authority (NPD&A) badan setingkat BPOM seperti di Indonesia terdapat badan khusus
,yaitu NPC (National Pharmacovigilance
Center) yang memiliki perintah resmi kepada National Drug Authority (NDA)
untuk memonitor kualitas, keamanan, dan khasiat Obat (Maigetter, et.al. 2015).
Daftar
Pustaka
BPOM. 2011. Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tentang Penerapan
Farmakovigilans bagi Industri Farmasi. http://www.who-umc.org/graphics/28552.pdf. Diakses 18
Oktober 2016
BPOM. 2012.
Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) bagi Tenaga Kesehatan. http://www.who-umc.org/graphics/28553.pdf Diakses 18 Oktober 2016
Kemenkes. 2014. Peraturan menteri Kesehatan No 35 Tahun 2014
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta
Kemenkes 2014. Peraturan Menteri Kesehatan No
30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas . Jakarta
Kemenkes 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta
Maigetter, et.al. 2015. Pharmacovigilance in India, Uganda and South
Africa with reference to WHO’s minimum requirement.s Int J Health Policy
Manag 2015, 4(5), 295–305
Tidak ada komentar:
Posting Komentar