Senin, 13 Maret 2017

Farmakovigilans


Farmakovigilans adalah aktivitas memahami,  mendeteksi, menilai dan mencegah efek samping obat dan masalah lain terkait obat (BPOM, 2011).  Farmakovigilans didefinisikan sebagai ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan pendeteksian, penilaian, pemahaman, serta efek samping obat  dan masalah terkait obat yang mungkin ada.  (WHO 2015). Di Indonesia peraturan terkait farmakovigilans secara jelas mensyaratkan untuk industri farmasi melalui Indonesia Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Iarmasi dan Peraturan Kemenkes No 1799 tentang industri farmasi yang juga mencantumkan tentang farmakovigilans. Pada Fasilitas layanan kesehatan belum dicantumkan secara langsung terkait farmakovigilans namun sudah ada pada peraturan untuk menerapkannya dalam masing-masing standar pelayanan kefarmasian seperti Peraturan menteri Kesehatan No 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Peraturan Menteri Kesehatan  No 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas  ,dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 58 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit . Ketiga peraturan tersebut mencantumkan bahwa Tenaga Kesehatan harus memantau efek samping dan melaporkannya (Kemenkes 2014). Selain itu BPOM uga telah membuat Pedoman Pemantauan Efek Samping Obat bagi tenaga Kesehatan (BPOM 2015).
            Industri Farmasi wajib menerapkan farmakovigilans sebagai syarat untuk beroprasinya industri tersebut. Adapun penerapan farmakovigilans yang dilakukan oleh industri farmasi terkait aspek keamanan obat untuk mendeteksi, memahami, dan menilai serta mencegah efek samping dan masalah lain pada penggunaan obat, perubahaan karakteristik resiko-manfaat suatu obat dan Kualitas atau mutu terhadap keamanan penggunaan obat (BPOM 2011). Sedangkan tenaga kesehatan menerapkan Farmakovigilans dengan memantau dan melaporkan keadian yang dicurigai sebagai efek samping baik yang sudah diketahui maupun efek samping yang belum diketahui. (BPOM 2012). Pelaporan Farmakovigilans yang dilakukan oleh Industri farmasi seperti pelaporan spontan (spontaneous reporting), pelaporan berkala pasca pemasaran (periodic safety update report), pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, pelaporan publikasi/literatur ilmiah,  pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain, , pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain, dan  pelaporan dari perencanaan manajemen risiko.
Tata cara pelaporan Farmakovigilans yang ada di Indonesia telah diatur oleh BPOM. Untuk Industri Farmasi harus menyampaikan laporan yang sesuai dengan ketetapan dan pedoman teknis dikirim ke Pusat Farmakovigilans lebih spesifik lagi pada Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Melalui beberapa cara seperti dikirim via POS dan E-mail (BPOM 2011). Tenaga Kesehatan wajib untuk memantau efek samping obat Bagi tenaga kesehatan di fasilitas layanan kesehatan harus bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain dan mengisi form Pemantauan Efek Samping  dan informasi lain dari rekam medik pasien (BPOM 2012) .  Laporan tersebut dikirmkan ke  Pusat MESO/Farmakovigilans Nasional Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI melalui Pos dan E-mail. Di Indonesia sendiri pelaporan terkait efek samping obat dilakukan oleh tenaga kesehatan.. Di Indonesia sendiri belum ada badan khusus yang menangani Farmakovigilans . Hal-hal terkait farmakovigilans masih dalam naungan BPOM. Di Uganda dibawah National Drug  Policy  and Authority (NPD&A)  badan setingkat BPOM  seperti di Indonesia terdapat badan khusus ,yaitu NPC (National Pharmacovigilance Center) yang memiliki perintah resmi kepada National Drug Authority (NDA) untuk memonitor kualitas, keamanan, dan khasiat Obat (Maigetter, et.al. 2015).




Daftar Pustaka
BPOM. 2011. Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi. http://www.who-umc.org/graphics/28552.pdf.    Diakses 18 Oktober 2016
 BPOM. 2012.  Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) bagi Tenaga Kesehatan. http://www.who-umc.org/graphics/28553.pdf  Diakses 18 Oktober 2016
Kemenkes. 2014. Peraturan menteri Kesehatan No 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta
Kemenkes 2014. Peraturan Menteri Kesehatan  No 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas . Jakarta
Kemenkes 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta

Maigetter, et.al. 2015. Pharmacovigilance in India, Uganda and South Africa with reference to WHO’s minimum requirement.s Int J Health Policy Manag 2015, 4(5), 295–305

Tidak ada komentar:

Posting Komentar