Jumat, 31 Maret 2017

Pharmaceutical Care


Menurut Hepler dan Strand, asuhan kefarmasian memiliki definisi tanggung jawab Apoteker terkait  terapi obat yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang pasti yaitu peningkatan kualitas hidup pasien. Dahulu apoteker menyediakan obat berdasarkan sebuah resep, namun dalam praktek asuhan kefarmasian, apoteker menganalisa resep, mengindentifikasi permasalahan terkait obat / drug related problems (DRPs) dan menyelesaikannya bersama-sama dalam konsultasi dengan dokter dan pasien. asuhan kefarmasian yang diterapkan apoteker adalah memenuhi kebutuhan pasien secara tepat, efektif, aman dan terapi obat yang mudah sesuai  dengan tujuan terapi diinginkan dan peningkatan kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup.
Apoteker berperan mencegah dan meminimalkan terjadinya drug related problem (DRP). DRP adalah sebagai kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan secara aktual atau potensial mengganggu tujuan terapi pasien yang diinginkan. Menurut Cipolle (2012), ada tujuh kategori yang termasuk dalam masalah terapi obat, yaitu:
1.      Terapi obat yang tidak diperlukan
Terapi obat tidak diperlukan karena pasien sedang tidak ada indikasi.
2.      Kebutuhan terapi obat tambahan
Terapi obat tambahan diperlukan untuk mengobati atau mencegah terjadinya resiko penyakit baru pada pasien.
3.      Obat yang tidak efektif
Produk obat tidak efektif untuk menghasilkan respon yang diinginkan.
4.      Dosis terlalu rendah
Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan oleh pasien.
5.      Reaksi obat yang tidak di inginkan
Obat ini menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan oleh  pasien.
6.      Dosis terlalu tinggi
Dosis terlalu tinggi, sehingga efek yang tidak diinginkan dapat dialami oleh pasien.
7.      Ketidakpatuhan
Pasien tidak mampu atau tidak bersedia untuk mengambil terapi obat yang ditentukan (Cipolle dkk., 2012).

Apoteker disamping mampu melakukan analisa terhadap DRP dalam asuhan kefarmasian, keterampilan yang baik dari seorang apoteker juga dibutuhkan untuk melaksanakan praktek asuhan kefarmasian yang baik. Apoteker membutuhkan keterampilan-keterampilan lain seperti komunikasi yang baik, pengetahuan tentang terapi, keterampilan membaca/mengintepretasikan resep, dan pemeliharaan catatan medis pasien. Pada asuhan kefarmasian juga dilakukan beberapa langkah seperti menilai kebutuhan terapi obat pasien dan mengidentifikasi DRP baik yang aktual maupun potensial, mengembangkan sebuah rencana pelayanan (care plan) untuk menyelesaikan dan mencegah permasalahan terkait obat, mengimplementasikan rencana pelayanan, dan memonitor dan meninjau kembali rencana pelayanan yang sudah dilakukan. Pelayanan asuhan kefarmasian melibatkan semua jenis pelayanan mulai dari penyerahan obat, konseling pasien, monitoring terapi obat, hingga skrining kesehatan. Semua aktivitas tersebut dapat dilakukan dalam sebuah apotek yang luas dengan tenaga apoteker komunitas yang terlatih dan profesional.

Senin, 27 Maret 2017

Penelusuran Sumber Informasi Obat


1.      Mencari di google scholar  dengan kata kunci “Antibiotic for PID”à Membuka UK National Guideline for the Management of Pelvic Inflammatory Disease 2011  .  Berdasarkan UK National Guideline for the Management of Pelvic Inflammatory Disease 2011  Antibiotik untuk Pelvic Inflamatory Disease ·         pasien rawat jalan
§  Ceftriakson 500mg dosis tunggal diikuti denganl doxycycline 100 mg sehari dua kali ditambah  metronidazol 400mg sehari dua kali selama 14 hari
§  Ofloxacin  400mg sehari dua kali  ditambah metronidazol 400 mg sehari dua kali selama 14 hari
§  Terapi Alternatif: Ceftriakson 500 mg diikuti  azithromisin 1 g/minggu selama 2 minggu dan  moksifloksasin 400mg sehari sekali selama 14 Hari
§  Pasien Rawat Inap
·          ceftiakson 2g sehari ditambah doksisiklin 100mg sehari dua kali diikuti  doksisiklin 100mg sehari dua kali ditambah metronidazole  400mg sehari dua kali selama 14 hari
·          clindamycin 900mg  3 tiga kali sehari ditambah  gentamicin (2mg/kg) diikuti  1.5mg/kg 3  kali sehari dilanjutkan  clindamycin 450mg 4 kali sehari doxycycline 100mg  sehari dua kali ditambah metronidazole 400mg sehari dua kali selama 14 hari
·         Terapi Alternatif :  ofloxacin 400mg   ditambah  metronidazole 500mg selama  14 hari. ciprofloxacin 200mg  ditambah  doxycycline 100mg  metronidazole 500mg  selama 14 hari
2.      Membuka Pharmacothrapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition à Section 12 à  “Gout and Hyperuricemiaà Bendroflumethiazid termasuk obat golongan diuretic. Diuretik dapat memperparah kondisi pasien gout.
3.      Membuka BNF edisi 68 tahun 2015 à membuka index mencari predsol beserta informasi yang terkait à Predsol beirisi Prednisolon Sodium Phosphat 20 mg/100ml. Adapun sediaan yang memiliki rute yang berbeda khususnya oral dengan bahan aktif yang sama dengan dosis 20-40 mg per hari. Kelebihan enema adalah memiliki onset of action yang lebih cepat dari pada per oral namun cara pemakaiannya diperlukan cara yang lebih rumit daripada per oral. Sediaan per oral lebih mudah digunakan daripada sediaan per rectal namun onset of action rute ini membutuhkan waktu yang lebih lama
4.      Membuka Pharmacothrapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition à Membuka Halaman 483.  Stepwise Approach merupakan suatu pedomanyang dirancang untuk penyedia layanan kesehatan untuk terapi asma secara individual. Ketidaksamaan kondisi antar individu menuntut terapi ini bersifat individual untuk mencapai hasil yang diinginkan.Step 5 adalah langkah yang harus dikonsultasikan kepada ahli asma. Untuk Usia 0-4 Tahun dipilih pemberian ICS (Inhaled Corticosteroids), LABA (Long Acting Beta Agonists), dan  leukotriene blocker. Usia 5-11 tahun dipilih ICS (Inhaled Corticosteroids) dikombinasikan dengan LABA (Long Acting .Beta Agonists) atau leukotriene blocker. Untuk Usia 12 tahun keatas dipilih ICS (Inhaled Corticosteroids) dan LABA (Long Acting Beta Agonists) dan pertimbangkan omaluzimab apabila alergi
5.       Membuka http://www.cdph.ca.gov à Health Information à Disease and Conditions à Zika à Zika Health and Travel Advisory .pdf. Di pasaran tidak tersedia vaksin zika, berdasarkan dokumen tersebut beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah tertular oleh virus zika adalah dengan mencegah gigitan nyamuk.
a.       Penggunaan penolak serangga yang mengandung DEET, picaridin, IR3535, minyak lemon, minyak eucalyptus, atau para-metana-diol untuk perlindungan yang lebih panjang. Apabila memakai tabir surya, maka gunakanlah tabir surya terlebih dahulu kemudian penolak serangga
b.      Apabila cuaca memburuk menggunakan pakaian lengan panjang dan celana panjang
c.       Menggunakan ruangan ber ac atau jendela yang tertutup supaya nyamuk tidak masuk ke kamar. Apabila cara tersebut tidak bisa dapat menggunakan tirai pelindung nyamuk.
d.      Mengurangi jumlah nyamuk dengan membuang bejana terbuka yang berisi air seperti pot bunga atau ember ang dapat menyebabkan genangan
6.      Mengakses http://search.proquest.com/ à memasukan kata kunci “fixed-dose combination and cardiovascular disease”  à Mencari informasi yang dibutuhkan à Kelebihan penggunaan Fixed Dose Combination dalam terapi  kardiovaskular:a.    Penggabungan beberapa macam obat antihipertensi dengan dosis rendah cenderung lebih efektif dan efek samping yang ditimbulkan sedikit bila dibandingkan dengan terapi tunggal dengan dosis tinggi.
b.    Menurunnya risiko komplikasi penyakit jantung koroner
c.    Meningkatkan kepatuhan pasien.
Kekurangan Fixed Dose Combination dalam terapi kardiovaskular adalah pasien akan mendapatkan terapi yang seharusnya tidak diperlukan.7.     Search di Google dengan kata kunci “ Ecotrin” à Klik website yang sudah dilabeli dengan Hon Codeà  Ecotrin merupakan produk paten aspirin. Informasi yang penting harus disampaikan kepada turis antara lain
a.     Aspirin (Ecotrin) bersifat asam, oleh karena itu  diminum setelah makan untuk mengurangi iritasi lambung.
b.    Disarankan untuk tidak langsung berbaring setelah minum obat ini
c.     Apabila lupa meminum obat sesuai jadwal maka jangan diberikan dua  dosis sekaligus.
8. Membuka Aplikasi Medscape pada telepon seluler à Cefadroxil à Pregnancy à Cefadroxil mendapatkan katagori B. Baik studi pada hewan coba tidak menunjukkan resiko tetapi studi pada manusia tidak tersedia atau studi pada hewatersen memperlihatkan resiko yang sangat kecil dan studi pada manusia telah selesai memperlihatkan tidak ada resiko. Wanita Tersebut dapat menkonsumsi obat tersebut
9.Search Google à memasukkan kata kunci Idiopathic/Immune Thrombocytopenic Purpurea à Klik web yang memiliki tanda “Hon Code” à Gejala muncul seperti ruam bintik merah, pendarahan, buang air besar disertai darah, gusi berdarah, pendarahan di hidung, menstruasi berkepanjangan10. Membuka BNF edisi 68à Mencari kata “atrial fibrillation” pada indeks à Mencari informasi terkait  first line therapy pada kasus Atrial Fibrillation dengan menggunakan rate control strategy à adapun obat yang termasuk first line therapy antara lain calsium channel blocker seperti verapamil HCl atau diltiazem HCl. atau β-blocker yang standar.


Sabtu, 25 Maret 2017

17th Asian Conference on Clinical Pharmacy

*Abstract Submission Deadline March 31, 2017*
Register now to join the 17th Asian Conference on Clinical Pharmacy in Tentrem Ballroom Hotel, Yogyakarta, Indonesia on July 27 – 31, 2017 with theme: _“Unity in Diversity and the Standardisation of Clinical Pharmacy Services”_.
The abstract submission deadline is *Friday March 31, 2017* >> Secure your place and register online here >> *http://accp2017.ff.unair.ac.id/submission/#iframe*
*CALL FOR PAPERS*
The conference invites contributions on the following topics: Clinical Pharmacy, Social and Administrative Pharmacy, Pharmacy Education, Pharmacoeconomics, Pharmacoepidemiology, Complementary and Alternative Medicine (CAM), and other topics in pharmacy.
Selected full papers will be published in the 17thACCP Proceeding 2017 by *CRC Press/Balkema*, *Taylor and Francis Group*. The proceeding will be submitted to the index service institutions: Clarivate Analytics (formerly Thomson Reuters / ISI Web of Knowledge) and Elsevier (EI/SciVerse Scopus) for evaluation to be indexed for citation purposes.
*KEYNOTE SPEAKERS*
Prof. Nila Djuwita Farid Moeloek – in confirmation
Prof. Joseph T. DiPiro
Prof. Lilian M. Azzopardi
Prof. Charles F. Lacy
*IMPORTANT DATES*
March 31, 2017: Abstract Submission CLOSE
April 10, 2017: Early Bird Registration CLOSE
April 07, 2017: Notification of Abstract Acceptance (ORAL/POSTER Presentation)
April 21, 2017: Full Paper Submission CLOSE
*PROGRAM*
1) Pre-Conference Workshops (July 27, 2017)
2) Conference (July 28-30, 2017)
3) Campus and Hospital Visit (July 31, 2017)
Please visit our website for further information : http://accp2017.ff.unair.ac.id/
We look forward to welcoming you to Yogyakarta!

Best regards,
The 17th ACCP Organizing Committee
E-mail: accp-secretariat@ff.unair.ac.id

Senin, 13 Maret 2017

Pelayanan Farmasi Klinik : Unit Dose Dispensing Service


Unit Dose Dispensing Service adalah sistem  distribusi obat  yang  merupakan tanggung jawab Apoteker sebagai cara untuk pemberian dan  pengendalian suatu pengobatan secara terorganisasi.  Prinsip dasar Unit Dose Dispensing Service antara lain obat disiapkan dalam bentuk yang siap diberikan dan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam dikirim ke pasien atau tersedia di tempat pasien dirawat kapanpun (ASHP, 1989)  Secara teoretis dosis satuan dapat dibuat dimanapun sepanjang  pengiriman dari Industri Farmasi  dapat berjalan lancar dan berakhir pada perawat yang memberikan memberikan obat ke pasien. Kedua, obat tersebut tetap berada dalam instalasi farmasi hingga satu sampai dua jam akan diberikan kepada pasien. Ketiga, semua obat yang diberikan harus telah diperiksa oleh apoteker sebelum keluar dan pengendalian dan distribusi obat harus dari Instalasi Farmasi oleh Apoteker. (Ding, 2012).

Semua obat yang dibagikan kepada pasien di bangsal harus disimpan dalam laci atau nampan dalam troli obat untuk pasien yang telah diberi label pada masing masing. Jumlah obat yang diberikan  harus sesuai dengan regimentasi dosis dan berada didalam laci pasien. Troli obat harus dikunci dan hanya dapat dibuka oleh perawat yang sudah terdaftar pada suatu bangsal dan apoteker yang berwenang (Ministry of Health Malaysia, 2010)
Unit Dose Dispensing Service harus dilakukan pada rumah sakit. Unit Dose Dispensing Service memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sistem distribusi obat lainnya. Kelebihan tersebut antara lain:
1.    Mengurangi terjadinya kesalahan obat
2.    Pengurangan biaya total yang berhubungan dengan obat
3.    Apoteker dan perawat yang lebih efektif menjalankan peranannya, memungkin kan untuk  terlibat melayani pasien secara langsung.
4.    Meningkatkan pemantauan dan pengawasan obat
5.    Tagihan obat yang lebih akurat untuk pasien
6.    Penghapusan atau pengurangan jumlah kredit obat
7.    Kontrol apoteker yang lebih besar
8.    Pengurangan persediaan obat di area pelayanan pasien
9.    Metode yang dapat dijalankan dengan computer atau sistem otomatis (ASHP, 1989)
           
Apoteker sangat berperan penting dalam implementasi Unit Dose Dispensing. Hal tersebut sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit , meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan pelayanan farmasi klinik. Adapun Unit Dose Dispensing Service  sesuai dengan pelayanan farmasi klinik pada aspek pengkajian dan pelayanan Resep, konseling, visite, Pelayanan Informasi Obat (PIO), dan Pemantauan Terapi Obat (PTO) (Kemenkes, 2015).



DAFTAR PUSTAKA
ASHP. (1989). ASHP statement on unit drug distribution. American Journal of Hospital Pharmacy, (46), 2346.
Ding, Q. (2012). The Effect of the Unit Dose Dispensing ServiceSystem on Medication Preparation and Administration Errors in Intravenous (IV) Drugs in a Chinese Hospital: Inpatient, (Iv), 1–251.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tetang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. PhD Proposal (Vol. 1). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Ministry of Health Malaysia. (2010). Guidelines for Inpatient Pharmacy Practice. Retrieved from http://www.pharmacy.gov.my/v2/sites/default/files/document-upload/guidelines-inpatient-pharmacy-practice.pdf



Penerapan Farmakoekonomi di Indonesia


Farmakoekonomi adalah bidang studi yang mengevaluasi perilaku atau kesejahteraan individu, perusahaan, dan pasar relevan dengan penggunaan produk farmasi, jasa, dan programs. Fokusnya adalah sering pada biaya (input) dan konsekuensi (Hasil) dari penggunaannya. Farmakoekonomi membahas aspek  klinis, ekonomi, dan humanistik intervensi kesehatan, sering digambarkan sebagai Model ECHO. (Holdford 2010)
Suatu lembaga atau fasilitas kesehatan dalam menjalankan operasional sehari hari memiliki keterbatasan dalam hal dana, peralatan, fasilitas, sumber daya manusia (tenaga yang memiliki keahlian tersebut). Oleh karena itu, fasilitas kesehatan atau lembaga tersebut harus membuat skala prioritas agar tetap dapat menjalankan pelayanan kesehatan. Pemilihan obat merupakan salah satu hal yang masuk dalam skala prioritas, namun juga harus mempertimbangkan aspek efikasi. Aspek efikasi yaitu tercapainya outcome terapi yaitu pasien mendapatkan kesembuhan setelah mendapat terapi. Perlu adanya penerapan prinsip dari farmakoekonomi untuk mencapai hal tersebut. Farmakoekonomi mempertimbangkan efektifitas dan juga biaya dapat membantu pembuat kebijakan mengambil keputusan. Farmakoekonomi digunakan sebagai pedoman untuk memilih obat yang rasional dengan manfaat yang paling tinggi (Kemenkes 2013). Aspek farmakoekonomi yang dilihat antara lain Decision analysis, Cost Minimization Analysis, Cost Effectivenes Alanysis, Cost-Benefit Analysis, Cost Utility Analysis, dan Cost Ilness Evaluation (Budiharto & Kosen, 2008.)

            Pemilihan dan  pendataan obat baru sudah diterapkan pada berbagai negara, seperti Malaysia, Korea, Thailand, dan Philipina. Meningkatnya pembiayaan obat dalam skala nasional, Farmakoekonomi  harus diterapkan supaya tersediaanya obat-obatan yang terbatas dapat dimanfaatkan dengan optimal seiring sudah diterapkannya Jaminan Kesehatan Semesta  atau JKN (Kemenkes 2013). Pada Tingkat nasional, Farmakoekonomi diterapkan pada penyusuunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Jamkesmas, Formularium Nasional, Obat Program, Asuransi Kesehatan, dan sebagainya. Pada Tingkat Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten, dan Kota) Farmakoekonomi diterapkan pada pemilihan obat yang digunakan pada Pusat Kesehatan Masyarakat di tiap kecamatan. Pada Fasilitas layanan kesehatan baik di Rumah Sakit, Farmakoekonomi digunakan untuk  menyusun Formularium Rumah sakit dan memilh obat untuk digunakan dalam terapi.  Formularium merupakan satu hal yang utama dalam pemberian obat yang rasional. Penerapan tersebut dilakukan oleh tim pada setiap lembaga misalnya di tingkat pusat penysuunan DOEN dilakukan oleh Komite Nasional, di PT Askes dilakukan oleh Tim Evaluasi obat, Panitia Farmasi dan Terapi di Rumah sakit, dan Tim Pengadaan obat Terpadu pada Dinas Kesehatan. Disarakan untuk tim-tim tersebut untuk mengikuti pelatihan farmakoekonomi supaya diperoleh presepsi yang sama Apabila belum adatim yang dibentuk maka perlu dibentuk tim tersendiri dan dari tenaga kesehatan seperti dokter dan apoteker dari sebuah lembaga pelayanan kesehatan  yang memiliki keaahlian farmakoekonomi. Akan lebih optimal apabila beberapa ahli seperti Epidemiolog, farmakolog, dan ahli statistik ikut serta dalam menjalankan penerapan farmakoekonomi ini supaya didapatkan hasil pemikiran dan kajian yang komprehensif. (Kemenkes, 2013)

Daftar Pustaka
Holdford, D. a. (2010). Pharmacoeconomics: From Theory to Practice. Advances in Colloid and Interface Science (Vol. 74).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Budiharto, M., & Kosen, S. 2008. Peranan Farmako-Ekonomi Dalam Sistem Pelayanan.Buletin Penelitian Sistem Kesehatan (Vol 11 No 4)


Farmakovigilans


Farmakovigilans adalah aktivitas memahami,  mendeteksi, menilai dan mencegah efek samping obat dan masalah lain terkait obat (BPOM, 2011).  Farmakovigilans didefinisikan sebagai ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan pendeteksian, penilaian, pemahaman, serta efek samping obat  dan masalah terkait obat yang mungkin ada.  (WHO 2015). Di Indonesia peraturan terkait farmakovigilans secara jelas mensyaratkan untuk industri farmasi melalui Indonesia Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Iarmasi dan Peraturan Kemenkes No 1799 tentang industri farmasi yang juga mencantumkan tentang farmakovigilans. Pada Fasilitas layanan kesehatan belum dicantumkan secara langsung terkait farmakovigilans namun sudah ada pada peraturan untuk menerapkannya dalam masing-masing standar pelayanan kefarmasian seperti Peraturan menteri Kesehatan No 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Peraturan Menteri Kesehatan  No 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas  ,dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 58 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit . Ketiga peraturan tersebut mencantumkan bahwa Tenaga Kesehatan harus memantau efek samping dan melaporkannya (Kemenkes 2014). Selain itu BPOM uga telah membuat Pedoman Pemantauan Efek Samping Obat bagi tenaga Kesehatan (BPOM 2015).
            Industri Farmasi wajib menerapkan farmakovigilans sebagai syarat untuk beroprasinya industri tersebut. Adapun penerapan farmakovigilans yang dilakukan oleh industri farmasi terkait aspek keamanan obat untuk mendeteksi, memahami, dan menilai serta mencegah efek samping dan masalah lain pada penggunaan obat, perubahaan karakteristik resiko-manfaat suatu obat dan Kualitas atau mutu terhadap keamanan penggunaan obat (BPOM 2011). Sedangkan tenaga kesehatan menerapkan Farmakovigilans dengan memantau dan melaporkan keadian yang dicurigai sebagai efek samping baik yang sudah diketahui maupun efek samping yang belum diketahui. (BPOM 2012). Pelaporan Farmakovigilans yang dilakukan oleh Industri farmasi seperti pelaporan spontan (spontaneous reporting), pelaporan berkala pasca pemasaran (periodic safety update report), pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, pelaporan publikasi/literatur ilmiah,  pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain, , pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain, dan  pelaporan dari perencanaan manajemen risiko.
Tata cara pelaporan Farmakovigilans yang ada di Indonesia telah diatur oleh BPOM. Untuk Industri Farmasi harus menyampaikan laporan yang sesuai dengan ketetapan dan pedoman teknis dikirim ke Pusat Farmakovigilans lebih spesifik lagi pada Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Melalui beberapa cara seperti dikirim via POS dan E-mail (BPOM 2011). Tenaga Kesehatan wajib untuk memantau efek samping obat Bagi tenaga kesehatan di fasilitas layanan kesehatan harus bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain dan mengisi form Pemantauan Efek Samping  dan informasi lain dari rekam medik pasien (BPOM 2012) .  Laporan tersebut dikirmkan ke  Pusat MESO/Farmakovigilans Nasional Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI melalui Pos dan E-mail. Di Indonesia sendiri pelaporan terkait efek samping obat dilakukan oleh tenaga kesehatan.. Di Indonesia sendiri belum ada badan khusus yang menangani Farmakovigilans . Hal-hal terkait farmakovigilans masih dalam naungan BPOM. Di Uganda dibawah National Drug  Policy  and Authority (NPD&A)  badan setingkat BPOM  seperti di Indonesia terdapat badan khusus ,yaitu NPC (National Pharmacovigilance Center) yang memiliki perintah resmi kepada National Drug Authority (NDA) untuk memonitor kualitas, keamanan, dan khasiat Obat (Maigetter, et.al. 2015).




Daftar Pustaka
BPOM. 2011. Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi. http://www.who-umc.org/graphics/28552.pdf.    Diakses 18 Oktober 2016
 BPOM. 2012.  Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) bagi Tenaga Kesehatan. http://www.who-umc.org/graphics/28553.pdf  Diakses 18 Oktober 2016
Kemenkes. 2014. Peraturan menteri Kesehatan No 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta
Kemenkes 2014. Peraturan Menteri Kesehatan  No 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas . Jakarta
Kemenkes 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta

Maigetter, et.al. 2015. Pharmacovigilance in India, Uganda and South Africa with reference to WHO’s minimum requirement.s Int J Health Policy Manag 2015, 4(5), 295–305

Halitosis Ditinjau dari Aspek Kefarmasian



Halitosis sering disebut dengan istilah malodor merujuk pada kondisi bau mulut yang kurang enak. Istilah halitosis digunakan untuk mendefinisikan adanya bau yang tidak menyenangkan yang dikeluarkan secara terus-menerus dari mulut seseorang (Al-Sadhan 2016). Bau yang tidak sedap adalah hasil dari bebasnya volatile sulfur compounds (VSCs) yang menyebabkan aktivitas pembusukan yang didominasi oleh mikroorganisme gram negati (Alshehri, 2015).
Menurut Al Sadhan (2016) Halitosis memiliki penyebab yang sangat kompleks terdiri dari penyebab ekstrinsik dan penyebab intrinsik. Penyebab ekstrinsik disebabkan oleh tembakau, alkohol, obat obatan, dan makanan yang menimbulkan bau seperti bawang putih dan bawang merah. Penyebab intrinsik dapat dikaitkan pada konidisi sistemik dan mulut, tetapi prosentase dari kasus yang ada 90% umumnya disebabkan oleh kondisi mulut. Kondisi sistemik meliputi kondisi saluran nafas seperti sinusitis kronis, tonsilitis, bronchitis, diabetes,Penyebab masalah mulut terkait dengan kondisi mulut seperti mulut yang kering, dan gangguan hati serta ginjal. Kondisi mulut terkait dengan buruknya kesehatan mulut, mulut kering, luka karies yang mendalam, infeksi, pericoronitis, mucosal ulcerations, makanan, dan umumnya tongue coating.
Halitosis merupakan salah satu masalah yang serius di masyarakat. Halitosis memiliki efek yang besar untuk penderita dan aktivitas kehidupan sehari hari mereka. Hal ini dapat memengaruhi secara signifikan pada aktivitas sosial dan professional  sehari-hari seperti berkomunikasi dengan orang lain. Selain itu Halitosis dapat mempengaruhi harga diri individu, dan  rasa percaya diri seseorang yang menyebabkan rasa malu dan mengurangi kesempatan bekerja dan kualitas hidup (Al-Sadhan 2016)

Halitosis sangat mempengaruhi aktivitas sehari-hari seseorang mulai dari rasa percaya diri hingga rasa malu yang dapat mengurangi kesempatan kerja dan kualitas hidup. Oleh karena itu, penanganan secara kuratif dan preventif halitosis sangat dibutuhkan untuk masyarakat. Ketika melakukan assesment pada pasien, Apoteker harus mengevaluasi kebersihan mulut pasien. Idealnya Apoteker harus memastikan pengobatan dan rekam medis untuk menentukan apakah halitosis tersebut mungkin muncul dari salah satudari penyakit yang didiskusikan dalam Patofisologi Halitosis. (Berardi et al, 2009). Beberapa hal yang perlu disampaikan untuk pasien yang mengalami halitosis antara lain menghindari makanan yang bersifat kariogenik, minum air putih delapan gelas sehari, menghindari alkohol dan rokok, serta rutin menyikat gigi dan menggunakan larutan untuk berkumur supaya nafas segar. (Berardi et al,2009)
Garam Zn dan Klorin Dioksida adalah senyawa yang paling efektif  dalam mencegah munculnya bau mulut yang tidak sedap. Seng Klorida, sitrat,dan asetat mengurangi ikatan reseptor yang memproduksi VSC. Klorin dioksida memecah ikatan disulfida dan mengoksidasi prekursor VSCs. Garam seng juga dapat membunuh bakteri gram negatif. (Berardi et al 2009).  Dengan mengetahui resiko terkait halitosis, diharapkan masyarakat akan menjaga kesehatan mulut dan gigi sehingga terhindar dari Halitosis. Aktivitas dan kepercayaan diri akan kembali tinggi dan kualitas hidup akan lebih baik


DAFTAR PUSTAKA
Al-Sadhan, Salwa Abdurrahman.2016. Self-perceived halitosis and related factors among adults residing in Riyadh, Saudi Arabia. A cross sectional study. The Saudi Dental Journal. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1013905216300116 . 9 September 2016.
Alsheri, Fahad Ali. 2015. Knowledge and Attitude of Saudi Individuals Toward Self-      perceived Halitosis. The Saudi Journal for Dental Research. Volume 7. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352003515000416. 9 September 2016.
Berardi, Rosemary R. et.al 2009. Handbook of Nonprescirption Drug. Washington DC:   American Pharmacist Association. 

SWAMEDIKASI




Swamedikasi adalah Pengobatan diri sendiri yaitu penggunaan obat-obatan atau menenangkan diri bentuk perilaku untuk mengobati penyakit yang dirasakan atau nyata. Pengobatan diri sendiri sering disebut dalam konteks orang mengobati diri sendiri, untuk meringankan penderitaan mereka sendiri atau sakit. Obat yang digunakan memiliki batasan meliputi Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Wajib Apotek. Beberapa faktor yang menyebabkan swamedikasi menjadi pilihan utama antara lain faktor biaya, usia, dan jenis kelamin. Swamedikasi bermanfaat dalam pengobatan penyakit atau nyeri ringan, hanya jika dilakukan dengan benar dan rasional, berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang obat yang digunakan dan kemampuan nengenali penyakit atau gejala yang timbul. Swamedikasi diharapkan dapat mengurangi beban pada layanan perawatan kesehatan.  Hal ini yang menjadikan peran Apoteker sangat penting dalam proses konsultasi obat oleh Apoteker untuk masyarakat luas dan para praktisi yang memerlukan informasi obat. Swamedikasi secara serampangan bukan hanya suatu pemborosan, namun juga berbahaya.. Apoteker bisa memberikan informasi obat yang objektif dan rasional. Swamedikasi boleh dilakukan untuk kondisi penyakit yang ringan, umum dan tidak akut. Beberapa Keluhan yang sering muncul di lapangan yang dapat ditangani oleh obat-obat obat non resep
  1. ·         Nyeri
  2. ·         Batuk/Influenza/nyeri tenggorokkan
  3. ·         Alergi
  4. ·         Masalah pencernaan (Diare, Maag, konstipasi, dll)
  5. ·         Infeksi ringan
  6. ·         Gangguan pada kulit
Pasien datang ke apotek untuk melakukan swamedikasi dalam beberapa cara.

1.      Meminta nasihat terkait keluhan
2.      Meminta obat dengan menyebutkan nama dari Obat tersebut.
3.      Meminta nasihat kesehatan secara general (tentang suplemen makanan)

Adanya pasien yang datang dengan beberapa macam tersebut membuat seorang Apoteker harus memadukan beberapa keahlian disamping keahlian di bidang farmasi. Keahlian tersebut meliputi membedakan keluhan utama dan keluhan sampingan, kemampuan berkomunikasi yang meliputi bertanya untuk menggali informasi dan menjawab untuk memberikan informasi kepada pasien terkait obat yang akan digunakan, serta yang terpenting adalah keputusan untuk memilih terapi yang tepat untuk pasien berdasarkan bukti dan keefektifan obat.  Diharapkan dengan adanya swamedikasi dapat meningkatkan peran Apoteker di masyarakat untuk membuat Indonesia lebih sehat di masa kini dan masa depan (ppt)

Sumber:

Handbook Of Non Prescription 16th Edition dan Symptoms in the Pharmacy 6th Edition